JAKARTA, KP - Publik Indonesia dikejutkan dengan wacana presiden terpilih Prabowo Subianto untuk meningkatkan rasio utang pemerintah ke tingkat tertinggi dalam dua dasawarsa terakhir. Dikabarkan, presiden terpilih berencana meningkatkan rasio utang sebesar 2 poin persentase setiap tahun selama lima tahun ke depan. Ini akan membawa rasio utang terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dari saat ini 39% menjadi hampir 50% pada akhir periode kepresidenannya.
Meski kemudian dibantah, wacana ini sontak menimbulkan kekhawatiran tentang keuangan Indonesia karena sebelumnya, Presiden Joko Widodo meyakinkan para investor dan masyarakat akan keberlanjutan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) senilai $32 miliar.
Memang, dalam beberapa tahun terakhir, defisit anggaran telah secara signifikan meningkatkan rasio utang terhadap PDB Indonesia, dari yang semula berada di bawah 25% pada tahun 2013 dan sekitar 30% sebelum pandemi, melonjak menjadi 39,7% pada tahun 2020 dan 41,1% pada tahun 2021. Rasio utang terhadap PBD saat ini berada di kisaran 39%.
Debt-to-GDP ratio ↑ → Deficit Spending ↑ → M2 ↑ → Inflation ↑ → Purchasing Power ↓
Rasio utang terhadap PDB ↑ → Pengeluaran Defisit ↑ → M2 ↑ → Inflasi ↑ → Daya Beli ↓
Center for Market Education Indonesia (CME-ID) berharap pemerintah berhati-hati menyikapi wacana ini. Mengapa? Pertama, peningkatan utang menyebabkan inflasi yang lebih tinggi, yang mengurangi daya beli masyarakat.
Sekalipun masyarakat mendukung pengeluaran pemerintah yang dibiayai oleh utang, defisit anggaran meningkatkan jumlah uang yang beredar di masyarakat (M2). Ketika jumlah uang beredar tumbuh melampaui pertumbuhan PDB, hal ini akan menyebabkan inflasi yang mengakibatkan masyarakat secara efektif menjadi lebih miskin.
Alasan kedua terkait dengan reaksi pasar modal. Ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak utang, hal ini meningkatkan permintaan akan dana pinjaman, dan dengan demikian menaikkan suku bunga. Suku bunga yang lebih tinggi menyebabkan lebih banyak dana yang disediakan tetapi mengurangi jumlah yang terserap oleh sektor swasta. Akibatnya, investasi yang terjadi di sektor swasta berkurang.
Hal ini mengarah pada berkurangnya investasi dan peningkatan konsumsi. Suku bunga yang tinggi mengurangi profitabilitas investasi jangka panjang. Ketika lebih banyak output ekonomi dikonsumsi sekarang dan lebih sedikit yang diinvestasikan, ekonomi akan tumbuh lebih lambat, mengurangi output masa depan. Hal ini sejatinya menggeser beban utang ke generasi mendatang.
Ketika pemerintah meminjam lebih banyak dan suku bunga naik, generasi saat ini mengkonsumsi lebih banyak output ekonomi, meninggalkan lebih sedikit untuk investasi masa depan. Tingkat pertumbuhan yang lebih lambat ini berarti generasi mendatang akan mewarisi tidak hanya utang tetapi juga ekonomi yang melemah. Mereka akan dihadapkan dengan pajak yang lebih tinggi atau layanan publik yang berkurang untuk mengelola utang, membuat situasi ekonomi mereka lebih sulit. Skenario ini mengancam aspirasi "Indonesia Emas 2045", karena ekonomi yang lemah akan menggerogoti ekonomi menuju 2045.
Lantas, langkah apa yang sebaiknya diambil? Pemerintah perlu duduk bersama dengan masyarakat, dalam hal ini parlemen, dan meninjau kembali UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara untuk mencari terobosan yang lebih cermat dalam mengelola utang publik. Sebagai contoh, utang tidak hanya terikat pada PDB (yang rentan terhadap penggelembungan akibat belanja pemerintah), tetapi juga pada pendapatan pemerintah, Debt Service Coverage Ratio (DSCR), dan aset negara. Pendekatan yang lebih komposit akan memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai kondisi fiskal riil sekaligus memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang. Langkah terobosan ini akan menjaga masa depan keuangan Indonesia di tengah tantangan untuk mencapai "Indonesia Emas 2045".
Alih-alih meningkatkan pengeluaran, pemerintah perlu berfokus kepada restrukturisasi ekonomi untuk menghasilkan ekonomi yang berpusat pada inovasi sektor swasta sebagai penggerak utama roda perekonomian.(*/Red)
Oleh:
Dr Carmelo Ferlito – CEO, Center for Market Education
Alfian Banjaransari – Country Manager, Center for Market Education Indonesia
Appendix: Indonesia’s GDP, M2 debt and deficit, 2013-2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar