Post Top Ad

Kombis

Nasional

Post Top Ad

EnergiKalbarPontianak

Indonesia Masih Bergantung pada Batubara dan Minyak Bumi

Penuhi Kebutuhan Energi

PONTIANAK, KP - Bicara krisis iklim, energi salah satu sumber pengemisi dunia begitu juga di Indonesia.
 
Sapariah Saturi salah satu narsum pada lokakarya penulisan pengelolaan dan pelestarian pemberdayaan lahan

Mengapa? Karena sampai saat ini sumber energi terbesar dari fosil, seperti batubara dan minyak dan gas bumi.

"Kalau tak ada keseriusan tekan emisi dari sektor energi, ke depan jadi pengemisi terbesar Indonesia," tegas Sapariah Saturi di depan peserta lokakarya penulisan pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam, Sabtu (14/12).

Sebenarnya Indonesia negeri yang kaya sumber energi terbarukan.

Awalnya Indonesia punya target barusan energi terbarukan 23 persen pada 2025. Sudah 2024, capaian masih rendah, 11-12 persen akhirnya,pemerintah lakukan revisi target 17-19 persen sampai 2025.

"Indonesia tergantung fosil batubara dan minyak bumi. Dominan batubara," ungkap Sapariah pimpinan redaksi Mongabay Indonesia.

Data pemerintah semester pertama 2024, kapasitas pembangkit terpasang di Indonesia 93 gigawatt. Sebesar 79,7 GW atau 85 persen merupakan pembangkit energi fosil, terdiri dari 49,8 GW atau 53 persen Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), 25,24 GW atau 27 persen adalah Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), dan 4,64 GW atau 5 persen Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batubara 2023 mencapai 775,2 juta ton, atau 112 persen dari target 694,5 juta ton. Target 2024 sebesar 710 juta metrik ton.

Belum termasuk PLTU captive. Pembangkit batubara yang terbangun di kawasan industri seperti kawasan industri nikel dan kawasan industri lainnya.

Transisi energi

Dikatakannya, ada peluang besar bagi Indonesia untuk beralih dari energi fosil, seperti batubara dan minyak dan gas, ke energi terbarukan.

Indonesia sebagai negara tropis yang dilalui garis khatulistiwa.Sumber energinya bisa didapatkan antara lain, sumber air, angin, matahari.

Isu energi terbarukan, kita jangan telan bulat-bulat. Energi terbarukan seperti apa?, tanyanya.

Perlu skeptis dalam melihat berbagai persoalan. Perlu melihat dari berbagai sisi
Hati-hati ‘transisi energi’ rawan greenwashing, Co-firing atau biomassa, Hutan tanaman industri, PLTN. Gasifikasi maupun batubara liquid.

Pemerintah Indonesia kenalkan istilah baru dan mendampingkan dengan istilah ‘energi terbarukan’ yakni kata ‘baru’, muncullah kata energi baru dan terbarukan.

Kita jangan terjebak kata ‘baru.’ Karena dalam makna energi baru di Indonesia itu antara lain batubara liquid atau gasifikasi batubara dan PLTN energi nuklir. 
 
Peserta lokakarya penulisan pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam

Jadi, kalau kita sedang bahas energi terbarukan, langsung saja, energi terbarukan, bukan energi baru dan terbarukan (EBT).

Bicara transisi energi, perlu melihat dari hulu ke hilir atau menyeluruh dari ujung ke ujung.

Misal, bangun pembangkit sumber air (PLTA) skala besar yang akan menenggelamkan ribua hektar hutan dan desa-desa adat.

Energinya memang energi terbarukan, tetapi dalam pelaksanaan berisiko menghancurkan hutan dan menghilangkan ruang hidup masyarakat adat.

Atau ada PLTU batubara co-firing yang juga dapat label ‘transisi energi’, mencampur bahan bakar dengan biomassa antara lain dari pelet kayu. Ini juga perlu dilihat lebih mendalam. Selain mencermati campuran batubara hanya 5 persen hingga 10 persen, artinya batubaranya masih 90-95 persen, juga ancaman kerusakan hutan untuk pasokan campuran biomassa itu.

Tak sekadar beralih dari fosil ke terbarukan, tetapi bagaimana implementasinya ke lapangan, tak mengancam lingkungan dan berdampak buruk terhadap masyarakat dan ruang hidupnya.
 

Industri Ekstraktif

Secara singkat sebagai usaha atau bisnis yang mengambil material mentah dari alam. Industri ini menimbulkan daya rusak multi dimensi, dari lingkungan, keanekaragaman hayati, sosial ekonomi, budaya sampai kesehatan masyarakat.

Tambang di darat dan laut lalu sawit, kayu yang berasal dari hancurkan hutan dan kebun atau lahan hidup masyarakat. Juga proyek-proyek infrastruktur skala besar yang memporakporandakan alam hingga berdaya rusak multi.

Perlu melihat konteks besar Indonesia. Indonesia punya hutan tropis ketika terbesar ketiga dunia.

Hutan Indonesia msih ada sekitar 120 juta hektar. Sekitar 90 persen untuk keperluan bisnis skala besar, kurang 10 persen untuk keperluan Masyarakat atau komunitas.

Untuk industri skala besar—juga industri ekstraktif itu antara lain kebun sawit: data pemerintah 16 juta hektar lebih, Sawit Watch (NGO) lebih 22 juta hektar.

Belum lagi izin tambang puluhan juta hektar, seperti tambang batubara belasan juta hektar, dan tambang-tambang lain seperti emas, nikel, timah, mangan dan lain-lain. Ini belum termasuk konsesi industry perkayuan seperti hutan tanaman industri, hutan tanaman energi dan proyek-proyek infrastrktur skala besar.

Industri dengan pemain-pemain skala besar atau korporasi ini menimbulkan berbagai persoalan di lapangan, dari kerusakan lingkungan deforestasi sampai pencemaran darat, air sampai udara maupun dampak sosial ke masyarakat sekitar yang kehilangan ruang hidup, konflik lahan, kriminalisasi, sumber pangan, hilang sumber ekonomi, budaya hilang sampai kesehatan mereka terancam dan lain-lain. (lyn)

Baca Juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad