JAKARTA, KP – Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence/AI) diprediksi menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi global, termasuk di Indonesia. Sebagai negara dengan tingkat adopsi AI yang cukup tinggi di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan teknologi ini dalam mempercepat transformasi digital dan meningkatkan daya saing ekonomi.
Laporan McKinsey Global Institute (2023) menyebutkan bahwa AI dapat berkontribusi hingga USD 13 triliun terhadap ekonomi dunia pada 2030, dengan potensi dampak mencapai USD 15,7 triliun menurut PwC. Di tingkat nasional, pemanfaatan AI di berbagai sektor diyakini mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan efisiensi industri.
Dalam rangka membahas peran AI dalam perekonomian Indonesia, Forum Wartawan Teknologi (FORWAT) mengadakan diskusi panel bertajuk “Masa Depan AI: Mampukah Memperkuat Ekonomi Indonesia?” Diskusi ini menghadirkan sejumlah pakar di bidang AI dan ekonomi digital, seperti Adrian Lesmono (Country Consumer Business Lead NVIDIA), Sri Safitri (Sekjen Partnership Kolaborasi Riset & Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial/KORIKA), Nailul Huda (Direktur Ekonomi Digital CELIOS), dan Insaf Albert Tarigan (Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan), dengan Ardhi Suryadi (Wakil Pemimpin Redaksi Detik) sebagai moderator.
Kedaulatan AI dan Tantangan Pengembangannya
Dalam diskusi tersebut, Adrian Lesmono menegaskan bahwa kedaulatan AI bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan strategis bagi Indonesia. Menurutnya, teknologi AI yang cepat, aman, dan mandiri adalah fondasi utama bagi kedaulatan digital. "Kedaulatan AI berarti kontrol penuh atas data, efisiensi, dan akselerasi digital," ujar Adrian.
Namun, pengembangan AI di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Sri Safitri dari KORIKA menyebut bahwa salah satu kendala utama adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki keahlian di bidang AI. "Jumlah individu dengan kompetensi AI masih sangat sedikit, sementara program studi khusus AI di Indonesia baru dimulai," ungkapnya.
Selain itu, infrastruktur digital yang belum merata, keterbatasan pendanaan untuk riset dan pengembangan (R&D), serta kebijakan terkait tata kelola AI masih menjadi hambatan. "Regulasi yang jelas dan kebijakan yang adaptif sangat diperlukan untuk memaksimalkan manfaat AI sekaligus memitigasi risikonya," tambahnya.
Transformasi Ekonomi Melalui AI
Di sektor ekonomi digital, AI telah menjadi tulang punggung transformasi industri, terutama di sektor keuangan dan e-commerce. Nailul Huda dari CELIOS menyoroti bahwa pertumbuhan pesat AI dalam bisnis digital menunjukkan potensi besar teknologi ini dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing industri nasional.
"Dengan dukungan strategi pemerintah, kolaborasi industri, serta peningkatan keterampilan tenaga kerja, AI dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," jelasnya.
Sementara itu, Insaf Albert Tarigan dari Kantor Komunikasi Kepresidenan menekankan pentingnya penyempurnaan strategi nasional terkait pemanfaatan AI. Menurutnya, pemerintah perlu menyusun blueprint AI yang menjadi panduan bagi sektor publik dan swasta dalam mengembangkan serta mengimplementasikan teknologi ini.
"Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memaksimalkan potensi kerja sama global dalam transfer teknologi, investasi, dan penelitian bersama. Kolaborasi semacam ini akan mempercepat adopsi AI, membuka akses ke sumber daya global, dan memperkuat kedaulatan teknologi Indonesia," paparnya.
Mendorong Indonesia Menjadi Shaper dan Maker AI
Indonesia perlu beralih dari sekadar pengguna teknologi (Taker) menjadi negara yang membentuk (Shaper) dan menciptakan (Maker) AI. Beberapa perusahaan nasional telah mulai melakukan langkah konkret untuk mencapai tujuan ini.
Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), misalnya, tidak hanya menggunakan AI untuk meningkatkan layanan pelanggan dan jaringan, tetapi juga berperan aktif dalam membangun ekosistem AI melalui pengembangan talenta, pelatihan, serta kolaborasi strategis. Beberapa inovasi AI yang telah dikembangkan oleh Indosat antara lain Sahabat-AI, Indosat AI Experience Center, dan Digital Intelligence Operation Center (DIOC).
Selain itu, perusahaan lain seperti GoTo dan Kata.ai juga telah menerapkan AI untuk mengoptimalkan layanan mereka. GoTo menggunakan AI untuk mempersonalisasi preferensi pelanggan dan memprediksi permintaan, sementara Kata.ai mengembangkan teknologi AI untuk meningkatkan interaksi pelanggan melalui percakapan otomatis.
Di sektor pemerintahan, teknologi AI mulai diterapkan dalam berbagai layanan publik, termasuk otomatisasi administrasi dan moderasi konten oleh Komdigi.
Kesimpulan
Diskusi panel yang diselenggarakan oleh FORWAT ini menjadi momentum penting dalam memahami peran strategis AI bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan pendekatan yang tepat, AI dapat menjadi motor utama transformasi digital dan memberdayakan berbagai sektor industri di Indonesia.
Untuk mencapai kedaulatan AI, diperlukan kolaborasi erat antara pemerintah, industri, akademisi, dan komunitas teknologi. Regulasi yang mendukung, investasi dalam riset dan pengembangan, serta peningkatan kapasitas SDM menjadi faktor kunci agar Indonesia tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pemimpin dalam inovasi AI di masa depan.(*/Red)